Rabu, 19 November 2008

Asal Usul Nama Nunukan

NUNUKAN, PASAR JAMAKER. Saat sedang duduk di dermaga kayu Pelabuhan Pasar Jamaker dan menyaksikan bongkar muat kapal-kapal kayu yang menurunkan gula, minyak goreng, dan minuman kaleng dari Tawau, Malaysia, sudah tidak ada lagi Pohon Beringin di sekitar dermaga ini. Padahal Pohon Beringin inilah yang dulu menjadi penanda dermaga Pulau Nunukan. Pohon beringin ini konon sangat rindang, sehingga terlihat cukup jelas dari Selat Sebatik, meskipun dari jarak yang cukup jauh. Konon lagi, dari Pohon Beringin ini Nunukan dinamai.
Pohon beringin dalam Bahasa Tidung disebut Nunuk. Nunukan (atau dalam logat aslinya : Nunukon) artinya tempat Pohon Beringin. Disebut begitu karena Pohon Beringin ini sangat mudah dilihat dari laut, jika orang yang berlayar, sekedar mampir atau beristirahat di pulau ini. Nunukan berada pada posisi yang strategis, di persimpangan jalur, jika orang berperahu dari Tanjung Selor atau Tarakan ke Tawau dan sebaliknya.
Bahasa Tidung adalah bahasa yang dipakai oleh Suku Tidung, begitu mereka biasa disebut, yang sebenarnya adalah orang-orang Dayak pesisir. Orang Tidung berdiam di sepanjang pantai timur Kalimantan Timur dari Berau (Indonesia) di selatan sampai Kinabalu (Malaysia) di utara. Sebagai orang pesisir, orang Tidung umumnya adalah nelayan, dan nelayanlah yang biasanya memberi nama pulau-pulau sebagai identifikasi untuk membedakannya dengan pulau lainnya.
Posisi Dermaga Pasar Jamaker berada di ujung utara Pulau Nunukan. Dermaga ini menyatu dengan pasar yang berdiri di geladak kayu di atas pantai seluas hampir 5.000 meter persegi. Pasar ini adalah pasar terbesar di Pulau Nunukan dan merupakan jenis pasar tradisional. Dari baju, ikan dan bumbu dapur tersedia di sini. Nama Jamaker berasal dari PT Jamaker, sebuah perusahaan HPH yang dulu punya home base di sebelah pasar ini. Perusahaan ini kini sudah tak beroperasi lagi, tapi namanya melekat sebagai nama pasar ini sampai sekarang.

Mengapa Membangun Jalan Saja Susah

MEMBANGUN JALAN YANG TAK PERNAH SELESAI. Ada pemeo di Nunukan, Dinas Pekerjaan Umum Nunukan adalah dinas pembuka jalan, tapi tak pernah bisa mengaspal. Di ujung-ujung wilayah Kabupaten Nunukan saat ini telah terhubung jaringan jalan. Jalan itu dikerjakan oleh DPU dengan semangat anti isolasi wilayah. Hanya sayangnya, setelah jalan dibuka dan dilapis agregat, tak diaspal-aspal sampai bertahun-tahun kemudian. Akibatnya jalanan itu menjadi rusak lagi karena gerusan air atau hancur oleh kendaraan bermuatan berat. Hebatnya, beberapa tahun kemudian jalan itu diagregat kembali dan tanpa diaspal. Di Pulau Sebatik, untuk menghubungkan wilayah barat dan timur pulau, dibangun jalan tembus dekat perbatasan Indonesia – Malaysia melewati Gunung Menangis. Pembangunan awal dimulai tahun 2004. Warga Sebatik sangat senang atas perhatian pemerintah itu. Hebatnya, sampai sekarang jalan itu belum selesai. Jembatannya pun sebagian masih menggunakan kayu gelondongan. Kegembiraan warga Sebatik pun lama kelamaan menjadi kesedihan, apalagi jika lewat di Gunung Menangis. Juga, pada tahun 2003 di Pulau Nunukan dibangun jalan tembus dari Nunukan Kota ke Sedadap. Tujuannya memudahkan akses warga dari kota ke Sedadap, tempat Kantor Bupati Nunukan dan kota baru berada, tetapi sampai saat ini jalan tersebut juga belum selesai. Sekarang, jalan itu bahkan dipotong ketinggiannya dengan alasan kenyamanan pengguna jalan, padahal jalan tersebut sudah diagregat. Kenapa bukan dulu waktu pertama kali dibangun? Bukankah ini merupakan kesalahan perencanaan yang memboroskan anggaran? Belum lagi jalan menuju Rumah Sakit Umum Nunukan di Sungai Fatimah sepanjang 7 km, akses jalan ini bukan main buruknya, terutama di km 3 - 5. Orang waras yang lewat jalan itu bisa jatuh sakit, apalagi orang sakit, bisa-bisa jatuh pingsan. Ah, DPU Bina Marga!

Jika Pejabat Pusat ke Nunukan

PEJABAT PUSAT KE TAWAU. Ada selingan bagi pejabat pemerintah pusat yang datang ke Nunukan. Rekreasi ke luar negeri! Ini tampaknya menjadi semacam daya tarik Nunukan bagi beberapa pejabat pemerintah pusat yang kebetulan berurusan dengan daerah ini. Begitu selesai urusan dinasnya, menyeberang ke Tawau. Dengan biaya Rp 175.000,- naik boat berpenumpang 60 orang, hanya butuh waktu 45 menit, sudah sampai ke luar negeri. Dengan mengurus KTP sementara untuk mendapatkan PLB (Pas Lintas Batas : surat semacam paspor berwarna merah untuk melintas antar negara bagi penduduk perbatasan sampai 5 km dari pelabuhan negara jiran), mereka melenggang ke luar negeri. Kayak apa sih Tawau? Sebenarnya Tawau adalah kota kecil saja, tapi inilah hebatnya Malaysia. Kota ini terletak di perbatasan, dengan fasilitas kota besar yang cukup lengkap, tata kotanya cukup modern, benar-benar menjadi halaman depan Malaysia di hadapan Indonesia. Dibandingkan Nunukan, Tawau 10 kali lipat lebih maju dan modern. Lucunya, kota ini sebenarnya dibesarkan dan dihidupkan oleh orang Indonesia, baik perdagangannya maupun pelancongannya. Tidak sulit mencari orang Indonesia di kota ini. Perbincangan menggunakan Bahasa Indonesia, Bugis, Tidung, bahkan Jawa, hal biasa di Tawau. Lagu-lagu yang diputar di pusat-pusat perbelanjaannya lebih banyak lagu-lagu Indonesia dibandingkan lagu Malaysia. Seandainya ada larangan perdagangan dan kunjungan lintas batas dari Indonesia ke Tawau, bisa jadi Tawau langsung sepi seperti kota mati, karena kehilangan pasar. Bukan hanya itu, orang lokal Tawau pun sebenarnya asalnya adalah dari Indonesia. Wali kota Tawau adalah orang Bugis. Polisi dan tentaranya banyak yang orang tuanya asal Indonesia, mungkin dulunya TKI yang kemudian mendapatkan IC (Identity Card : KTP) Malaysia dan jadilah mereka warga Malaysia. Jadi kalau bicara perbatasan, jangan ribut kalau ada Relawan Penjaga Perbatasan Malaysia adalah dulunya orang Indonesia. Itu bukan WNI, mereka WNM keturunan Indonesia.

Nunukan dan TKI

TKI. Nunukan adalah gerbang TKI. Meminjam istilah sakral orang pusat di perbatasan “Perbatasan adalah Halaman Depan Negara Kesatuan Republik Indonesia” setiap kali terdengar pidatonya. Baik buruknya perbatasan adalah cermin baik buruknya ruang dalam NKRI. Di halaman depan ini pula TKI kita mengurus dokumen keimigrasiannya. Setiap pagi di luar pagar Bandara Nunukan, ada puluhan orang berjajar menonton pesawat terbang dan mendarat. Dapat dimaklumi, di tempat asalnya memang tidak ada lapangan terbang, jadi jarang sekali melihat pesawat terbang di daratan. TKI di Nunukan umumnya berasal dari NTB, NTT, Sulawesi dan Jawa. TKI bisa dijumpai di mana-mana di Kota Nunukan. Banyak penampungan TKI dan PJTKI di Nunukan. Ada juga BP2TKI (badan milik Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mengurus penempatan TKI di luar negeri), yang di pagar depan kantornya tertulis spanduk “Jangan Mejadi TKI Illegal” dan Kantor Imigrasi Nunukan, yang tiap hari tak pernah sepi TKI. Persoalan TKI ini pernah menjadi serius pada tahun 2002 – 2003, ketika TKI Indonesia dihalau (istilah resmi pemulangan TKA di Malaysia), karena masuk ke Malaysia secara illegal. Nunukan, yang waktu itu penduduknya baru 75.000-an orang, didatangi 300.000-an TKI. Jadilah kekacaubalauan penanganan dan tragedi yang memilukan. Jalan di sekitar Pelabuhan Sungai Bolong ditutup untuk didirikan tenda penampungan TKI, emper rumah dipakai untuk tidur mereka. Di Mambunut didirikan Pusat Penampungan TKI, meski akhirnya urung dipakai (karena begitu bangunan yang terbuat dari papan itu jadi, TKI-nya tinggal sedikit, akhirnya ketika Konflik Ambalat meletus, tempat ini dijadikan barak Marinir). Hal ini menunjukkan betapa seriusnya Nunukan sebagai gerbang TKI. Untung sekarang perpanjangan dokumen keimigrasian TKI tidak harus datang ke Nunukan, cukup dicap di Konjen Kinabalu atau Konsul Tawau, sehingga mudah-mudahan tragedi itu tak terjadi lagi. Tapi untuk TKI baru? Mudah-mudahan juga segera ada solusi ketatatenagakerjaan di Indonesia, sehingga TKI bukan makin bertambah karena kesejahteraan di Indonesia telah ditingkatkan.

Nama-nama Tempat di Nunukan

NUNUKAN, BUMBU-BUMBU KEUNIKAN. Banyak hal unik terjadi di Nunukan. Gabungan antara daerah perbatasan, beragamnya etnis yang mendiami, banyaknya pendatang, kurangnya infrastruktur, jauhnya dari pusat ekonomi Indonesia dan lainnya menjadikan Nunukan unik bagi pendatang atau orang baru. Dari yang sekedar bergumam heran, sampai yang benar-benar heran, bahkan mengkritik ke-“aneh”-an ini, ada baiknya direkam, untuk pengingat, seandainya ‘suatu hari nanti’ keadaan itu sudah tak ditemui lagi atau kalau pun keadaan itu tetap lestari, anggap saja sebagai catatan dibuang sayang

NAMA-NAMA TEMPAT. Di Nunukan banyak sekali tempat yang namanya dimulai dengan Sei, Si atau Sungai dan mana-nama orang. Contohnya : Sei Fatimah, Simenggaris, Simengkajang, Sungai Bilal, Sungai Sembilang, Tanjung Musa, Mansapa, dan sebagainya. Bagi orang Nunukan tentu tidak merasa aneh menyebut tempat dengan sungai, meskipun sungainya sebenarnya jauh dari tempat itu. Kalau orang Nunukan mau ke Sungai Bilal, maksudnya dia bukan mau ke sungai milik Pak Bilal, tetapi mungkin mau ke stadion, main sepak bola (di ‘Sungai’ Bilal ada stadion sepak bola bernama “Stadion Sungai Bilal”). Namun bagi pendatang (maksudnya orang luar Nunukan yang kebetulan berada di Nunukan) akan muncul keanehan, apalagi kalau dia diajak main sepak bola di Sungai Bilal oleh temannya yang tinggal di Nunukan, jangan-jangan dia membayangkan main polo air. Dari mana muncul nama-nama tempat ‘berawalan’ sei, tidak diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan, dulu orang bepergian selalu menggunakan moda transportasi air, perahu misalnya. Di tempat mendaratnya (atau tepatnya : merapatnya), kebetulan di dekat Rumah Ibu Fatimah, sehingga lama-kelamaan tempat itu dikenal sebagai Sei Fatimah. Maksudnya tentu bukan ada sungai milik Ibu Fatimah, tapi tempat (atau sungai) di dekat Rumah Ibu Fatimah. Demikian juga dengan Sungai Bilal, Tanjung Musa (bahkan saat ini Bapak Musa masih hidup), Mansapa (Paman Sapa’ sampai sekarang juga masih hidup), tetapi untuk Sungai Sembilang, mungkin di sekitar tempat itu banyak Ikan Sembilang-nya. Juga Simenggaris, di tempat itu memang banyak Kayu Menggaris-nya(kayu berbatang lurus dan tinggi yang biasanya menjadi sarang lebah). Jadi tak perlu takut kebasahan kalau diajak ke Sei Fatimah.

gai catatan dibuang sayang.

Ke Kecamatan Harus Naik Pesawat

KE KECAMATAN NAIK PESAWAT. Sudah tidak banyak di Indonesia daerah kecamatan yang saking sulitnya akses ke Ibu Kota Kabupaten, hanya bisa ditempuh dengan perjalanan udara, kecuali di Papua, tetapi di Nunukan hal itu masih ada. Sampai pernah, karena diberlakukannya penertiban keamanan penerbangan, dan maskapai penerbangannya terkena pembekuan, orang-orang Krayan dan Krayan Selatan, berbulan-bulan tidak bisa keluar dan masuk ke Ibu Kota Kabupaten. Tidak ada akses jalan darat dari Nunukan ke Krayan atau Krayan Selatan. Kedua kecamatan itu berada sekitar 300 km dari Nunukan, berada di pedalaman Pulau Kalimantan dan terletak pada 800 mdpl, sehingga wilayah tersebut dikenal sebagai Dataran Tinggi Krayan. Udaranya sejuk dan penduduknya ramah, tetapi terisolasi. Orang Krayan punya akses jalan tanah ke perbatasan Serawak (Malaysia Timur), semua kebutuhan sehari-hari, kecuali beras (Beras Krayan terkenal enak dan dijual sebagai Beras Bekalalan di Brunei. Konon nasi Beras Krayan ini disajikan untuk santapan Sultan Brunei) dipasok dari Serawak, tapi justru ke Nunukan, Ibu Kota Kabupatennya sendiri, di Indonesia, tak ada sama sekali akses jalan. Orang Krayan dan Krayan Selatan hanya bisa naik pesawat untuk ke Nunukan. Begitu juga pejabat Kabupaten Nunukan yang akan mengunjungi Krayan dan Krayan Selatan, hanya bisa naik pesawat selama 1 jam atau jalan kaki lewat jalan setapak naik turun gunung selama 5 hari. Nah, selamat berkeringat, kalau tak ada pesawat.

Beberapa Data Nunukan

NUNUKAN, BEBERAPA DATA. Tanggal 11 Oktober 2008, Kabupaten Nunukan merayakan hari jadinya ke 9. Luas Kabupaten Nunukan adalah 13.917,766 km2. Saat ini terbagi menjadi 9 kecamatan, 5 kecamatan asli dan 4 pemekaran, yaitu Kecamatan Nunukan, Kecamatan Sebatik, Kecamatan Sembakung, Kecamatan Lumbis, Kecamatan Krayan, Kecamatan Sebuku (2003), Kecamatan Krayan Selatan (2005), Kecamatan Sebatik Barat (2006) dan Kecamatan Nunukan Selatan (2008), serta 213 desa dan 5 kelurahan. Pada tahun 2007, penduduk Kabupaten Nunukan berjumlah 134.563 jiwa dengan kepadatan rata-rata 7,54 jiwa per km2 , rasio penduduk laki-laki / perempuan 112,9%. Pendapatan per kapita pada tahun 2007 berjumlah Rp 5.667.945,-. Mata pencaharian penduduk 58,91% di sektor pertanian dan 13,87% di sektor jasa. Bank yang beroperasi di Nunukan seluruhnya BUMN, yaitu : Bank BNI (Cabang), BRI (Cabang Pembantu), Mandiri (Cabang Pembantu, belum beroperasi, tahap membangun kantor) dan 1 BUMD (Bank Kaltim – dulu BPD Kaltim). Nunukan juga memiliki 2 perkebunan sawit besar yang telah memiliki pabrik CPO, yaitu : PT Nunukan Jaya Lestari (PMA) dan PT Komismar (PMDN), serta 1 perusahaan pengeboran minyak PT Medco Equatorial Sembakung.

Menelusuri Cerita Nunukan

NUNUKAN, MENELUSURI CERITA. Nunukan sebagai sebuah wilayah administrasi sebuah kabupaten berdiri sejak tahun 1999, tepatnya sejak UU Nomor 47 Tahun 1999 disahkan. Sebelumnya Nunukan hanyalah sebuah kota kecamatan yang berada dalam Kabupaten Bulungan. Semangat otonomi dan reformasi tahun 1998-lah yang melahirkan kabupaten ini.

Agak susah ditelusuri sejak kapan Nunukan didiami manusia, hanya diperkirakan Nunukan tumbuh bersama dengan kebesaran Kerajaan Bulungan. Dulu, Kerajaan Bulungan adalah kerajaan besar di wilayah timur laut Kalimantan. Wilayahnya membentang dari Berau sampai Kinabalu. Diperkirakan Nunukan adalah pulau transit, jika pembesar Kerajaan Bulungan ingin melakukan inspeksi ke Tawau, Semporna atau Kinabalu.

Pada zaman Belanda, kurang diketahui peranan Nunukan bagi rezim penjajah itu, tapi di Semengkajang, sebuah dusun di selatan pulau, didapati sumur minyak tua yang ditinggalkan dan tidak jadi dieksplorasi. Ini bukti Belanda pernah beroperasi di pulau ini.

Pasca kemerdekaan, Nunukan adalah sumber kayu yang besar bagi Republik. Masa keemasan kayu berlangsung dari tahun 60-an sampai 90-an. Akibatnya, saat ini Nunukan hanyalah pulau gundul yang mengenaskan. Bahkan mempertahankan hutan lindung saja, susahnya setengah mati. Meskipun demikian pada masa Konfrontasi dengan Malaysia, Nunukan adalah tempat yang strategis, karena berada di perbatasan. Keinginan Bung Karno untuk menyatukan seluruh Pulau Kalimantan ke pangkuan Ibu Pertiwi Indonesia, menjadikan Nunukan menjadi medan utama konflik. Sisanya, saat ini masih berdiri Tugu Peringatan gugurnya para pahlawan dari Unit KKO Angkatan Laut yang terlibat pertempuran di sini. Tugu ini terletak di halaman Puskesmas Nunukan Kota, di sebelah Alun-alun Kota Nunukan.

Dulu, Nunukan juga dikenal sebagai tempat yang tidak ramah dan kurang aman. Para perompak, perampok, preman dan penyelundup menjadikan Nunukan sebagai pangkalan yang strategis. Bahkan polisi sampai harus mendirikan Polsek yang cukup besar untuk menangani Nunukan. Di sekitar Alun-alun, pada tahun 90-an, mudah sekali ditemui orang mabuk dan berkelahi. Pagi harinya botol-botol minuman keras berserakan di jalanan sekitar Alun-alun itu. Ironisnya, Alun-alun letaknya di depan Kantor Polisi.

Sekarang suasana seram seperti itu tinggal cerita. Sejak meningkat statusnya menjadi kabupaten, Nunukan terus membenahi diri. Jika pada tahun 1999 hampir semua bangunan di sekitar pusat kota masih dibuat dari kayu, tahun 2008 ini bangunan kayu sudah terkikis. Di samping karena sulitnya mencari kayu akhir-akhir ini (banyak razia illegal logging, sampai-sampai untuk membuat liang lahat pun, masyarakat ada yang harus mencopot lantai rumahnya!), mudahnya transportasi dan alasan modernisasi, bangunan bata dan beton, bahkan yang menjulang tinggi, menjamur di Kota Nunukan.

Rabu, 15 Oktober 2008

Realitas Kehidupan Masyarakat antara Tawau dan Nunukan Ibarat Melihat Bumi dan Langit

Realitas Kehidupan Masyarakat antara Tawau dan Nunukan Ibarat Melihat Bumi dan Langit


SAAT perahu motor yang ditumpangi dari Nunukan, kota paling utara di Kalimantan Timur, merapat di pelabuhan Tawau, Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri seolah tidak percaya kalau dia bersama rombongan telah tiba di kota terselatan di Negara Bagian Sabah, Malaysia Timur. Sikap ini dapat dimaklumi, sebab suasana kota tersebut jauh lebih ramai, banyak gedung perkantoran dan bisnis yang megah dan tinggi, jalannya lebar, beraspal mulus, dan bersih.

BAHKAN, jalan yang menghubungkan Tawau dengan berbagai kota kecil dan besar di wilayah Negara Bagian Sabah menyerupai jalan tol dan tiap jalur dapat dilalui empat kendaraan. Sepanjang jalan tampak hamparan perkebunan kelapa sawit dan kakao yang dilengkapi industri hilir dan hulu.

Kendaraan yang lalu lalang pun dari berbagai merek dan jenis; mulai mobil kebanggaan Malaysia, yakni Proton Saga hingga Marcedes, Toyota Land Cruiser Turbo, Mitsubishi Pajero, dan Ford. Bahkan, jumlah mobil mewah itu tampak cukup menonjol. Menariknya lagi, selama berada di kota itu dan sekitarnya, rombongan Menteri Kelautan dan Perikanan hanya menggunakan mobil-mobil mewah. Sama sekali tidak ada mobil sejenis Toyota Kijang. Hampir di setiap rumah tampak terparkir minimal satu mobil pribadi.

Selain itu, di kota setingkat kabupaten tersebut memiliki pelabuhan samudra yang melayani ekspor dan impor, serta pelabuhan perikanan yang cukup besar. Tidak jauh dari pelabuhan berdiri berbagai jenis industri, termasuk pabrik pengawetan, pengolahan, dan pengalengan ikan. Ikan kaleng dan ikan yang diawetkan langsung diekspor ke Singapura, Jepang, dan China.

Hebatnya lagi, sekitar 20 kilometer arah utara Tawau tersedia bandar udara (bandara) yang mampu didarati pesawat berbadan lebar dari berbagai jenis dan tipe. Setiap penumpang yang turun maupun naik tidak dijemput dengan bus, melainkan melalui garbarata. Kehadiran bandara itu otomatis memudahkan eksportir mengirimkan barang-barang yang mengharuskan cepat tiba di tempat tujuan. Tawau juga memiliki belasan hotel berbintang yang selalu dihuni tamu minimal 60 persen dari kapasitas yang tersedia. Luar biasanya lagi, tersedia pula belasan lapangan golf dan tiga di antaranya berstandar internasional. Setiap akhir pekan lapangan tersebut tidak pernah sepi. Pemain tak hanya dari Tawau, tetapi juga Kinabalu, Kuching, Kuala Lumpur, Balikpapan, dan Brunai Darussalam.

Sebaliknya, di Nunukan, yang hanya memiliki jarak tempuh sekitar dua jam menggunakan perahu motor dari Tawau, suasananya sangat kontras. Di sana jalan raya beraspal baru terbangun di tengah kota. Tetapi, kualitas jalan yang ada masih jauh di bawah standar dan setiap ruas hanya bisa dilalui maksimal dua kendaraan. Banyak juga jalan yang belum teraspal sebab baru dibuka tahun 2003. Kendaraan yang termewah hanya Nissan Terano, dan itu pun hanya satu unit yang menjadi mobil dinas Bupati Nunukan.

Nunukan hanya memiliki satu pelabuhan yang disinggahi kapal milik PT (Persero) Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) dan kapal-kapal tradisional yang melayani angkutan penumpang, serta barang dari kota itu menuju Surabaya, Makassar, dan kota lain di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Bandaranya baru mampu didarati pesawat jenis Cassa. Gedung yang paling mewah hanya kantor Bupati yang memiliki lima lantai.

"Kalau kita membandingkan antara Tawau dan Nunukan, ibarat Bumi dan langit. Sebagai sebuah etalase Indonesia di utara Kalimantan Timur, seharusnya kondisi Nunukan tidak boleh tertinggal begitu jauh dari Tawau. Hal ini membuat ketergantungan masyarakat Nunukan kepada Tawau menjadi sangat besar. Kalau terjadi jomplang seperti ini hanya menyuburkan penyelundupan dan aktivitas ilegal lainnya. Dan itu sangat merugikan kita," kata Rokhmin Dahuri.


JIKA perbedaan kedua kota yang begitu tajam dipersoalkan, pejabat tinggi di Jakarta pasti selalu berkilah bahwa Nunukan baru berbenah sejak tahun 1999, setelah dimekarkan dari Kabupaten Bulungan. Tadinya Nunukan hanya sebuah kecamatan dengan alokasi dana pembangunan pun sangat terbatas sehingga tidak mungkin menyamai Tawau.

Argumentasi ini benar dan logis. Akan tetapi, di balik itu menggambarkan betapa para pembuat kebijakan pembangunan di Indonesia sama sekali tidak memiliki visi tentang nilai dan peran strategis kawasan perbatasan negara. Malaysia memaknai kawasan perbatasan negara sebagai potensi untuk meraih devisa. Di sana diyakini dapat terjadi transaksi perdagangan barang dan jasa untuk pemenuhan kebutuhan pokok, minimal untuk masyarakat di sekitar kawasan itu.

Tidak mengherankan, hampir di semua daerah strategis dari Malaysia yang berbatasan dengan Indonesia selalu dibangun menjadi kota-kota menengah. Semua infrastruktur dasar, seperti jalan, telepon, air bersih, listrik, pelabuhan, dan bandar udara disediakan sehingga menarik minat pelaku usaha untuk berinvestasi di daerah tersebut. Akhirnya, kota-kota itu tumbuh menjadi pusat pertumbuhan baru ekonomi Malaysia.

Semporna, misalnya, yang berjarak 102 kilometer arah utara Tawau hanya ditempuh sekitar satu jam dari Tawau. Mengapa? Karena jalan yang dibangun memiliki dua lajur dan setiap lajur dapat dilewati tiga kendaraan. Di daerah pesisir ini memiliki jaringan telepon yang sangat baik yang bisa melayani percakapan internasional. Di sana dibangun pula pelabuhan pendaratan ikan (PPI) yang dilengkapi dengan stasiun pengisian bahan bakar berskala besar, industri pengawetan ikan, industri pengalengan ikan, dan dalam kawasan tersebut dilengkapi rumah makan ikan serta hotel berbintang yang dibangun di atas laut. Hotel itu umumnya dihuni wisatawan mancanegara dan pengusaha dari berbagai kota di Malaysia dan dari luar negeri, seperti Singapura, Filipina, Thailand, China, dan Jepang.

Lihat saja di Lubok Antu yang berbatasan dengan Badau (Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat), Serian, dan Tebedu yang berbatasan dengan Entikong (Kalimantan Barat), Tawau-Nunukan, dan lain sebagainya. Kini masyarakat Indonesia yang tinggal di perbatasan sangat menggantungkan hidup pada kota-kota tersebut. Setiap hari mereka menuju kota terdekat untuk membeli berbagai barang kebutuhan, baik makanan, minuman, pakaian, dan sebagainya. Penghasilan yang diperoleh dalam rupiah, tetapi harus ditukarkan dalam ringgit agar dapat membeli barang yang diinginkan.

Kelebihan lain dari Malaysia dalam sektor perikanan, misalnya, dalam kredit usaha. Di negara itu, dengan bermodalkan kapal kayu pun pemohon dibolehkan mendapatkan kredit dengan suku bunga kredit hanya sekitar tiga persen per tahun. Prosesnya pun paling lama dua hari. "Kami di sini (Malaysia) mudah sekali dapat kredit dari bank. Kami tulis proposal, lalu ajukan ke bank dengan agunan kapal kayu sudah bisa dapat kredit untuk beli kapal dan alat tangkap yang lebih baik untuk meningkatkan produksi dan penghasilan," tutur Nadjil (39), nelayan di Semporna, yang mengaku memiliki dua mobil pribadi.

Untuk memiliki mobil, lanjut dia, juga sangat gampang karena masyarakat Malaysia dilarang membeli mobil secara tunai. Masyarakat diminta membeli mobil secara kredit dengan waktu mengangsur maksimal 10 tahun. Jika ada warga yang kedapatan membeli mobil dengan tunai langsung diusut, sebab diduga melakukan korupsi dan lain sejenisnya.


UNTUK itu, menurut Rokhmin Dahuri, sudah waktunya semua pihak dan instansi terkait mulai membangun kawasan perbatasan. Khusus untuk Nunukan, dia menawarkan pembangunan pada tiga sektor unggulan, yakni perikanan dan kelautan, perkebunan, serta pariwisata. Akan tetapi, pembangunan harus dilakukan secara terintegrasi melibatkan semua instansi terkait agar bisa lestari dan efisien.

Sementara itu, pemerintah dan masyarakat harus menciptakan iklim yang nyaman dan kondusif bagi investasi. "Jangan mempersulit. Jangan melakukan unjuk rasa terus-menerus. Lalu, infrastruktur pun dibangun dan sektor unggulan langsung bergerak. Kepastian hukum ditegakkan dan sumber daya manusia ditingkatkan, maka saya yakin dalam waktu 10 tahun saja kita sudah mampu mengejar berbagai ketertinggalan Nunukan dari Tawau," ujar Rokhmin.

Keyakinan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Tawau dipicu oleh maraknya kegiatan ilegal yang disuplai dari Nunukan. Misalnya, pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI), penyelundupan kayu, pencurian ikan, dan berbagai barang kebutuhan lainnya.

"Jika kegiatan ilegal itu ditertibkan, lalu saat yang sama dibuka perkebunan skala besar, industri kelapa sawit, industri perikanan dan kelautan di Nunukan, saya kira perekonomian Tawau bisa goyah. Sebab, pencari kerja pun pasti lebih memilih bekerja di Nunukan dibanding harus ke Tawau. Di sana mereka dibohongi, ditipu, atau disiksa majikan, dan diburu aparat keamanan setempat dengan tuduhan pendatang haram. Oleh sebab itu, kenapa kita tidak sekalian menghidupkan Indonesia saja," kata Rokhmin Dahuri.

"Yang terpenting sekarang adalah mari kita hentikan kerja sektoral dan mulai membangun secara terpadu dan terintegrasi. Di sini kita membutuhkan pemimpin yang visioner dan kuat untuk mengatur semuanya ini mulai dari pusat hingga daerah," tegas Rokhmin Dahuri.

Halim Fugianto, Direktur Utama PT Mitra Samudra Makmur, mengatakan, bahan baku industri perikanan dan perkayuan di Tawau umumnya disuplai secara ilegal dari Nunukan. Hal ini menunjukkan potensi kedua komoditas itu di bagian utara Kalimantan Timur masih sangat berlimpah. Jika demikian, mengapa tidak didorong dan diberikan iklim yang kondusif untuk pembangunan industri berskala besar di Nunukan?

Andaikata kebutuhan itu terpenuhi pemerintah dan masyarakat, dia sangat optimis investor akan berlomba-lomba berinvestasi di Nunukan. Alasannya, daerah tersebut memiliki posisi yang sangat strategis sebagai salah satu pintu gerbang Indonesia dan Malaysia.

"Itu berarti, ekonomi Nunukan akan maju pesat. Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat di Nunukan pun pasti meningkat tajam. Ketertinggalan ekonomi dengan Tawau perlahan-lahan dapat diimbangi," ujar Halim, yang kini merintis pembangunan industri perikanan berskala besar secara terpadu pada areal seluas 32 hektar di Nunukan.
(oleh : JANNES EUDES WAWA)

Sumber :  http://64.203.71.11/kompas-cetak/0406/01/ekonomi/1058091.htm


SEJARAH TERBENTUKNYA KABUPATEN NUNUKAN

Sejarah terbentuknya kabupaten Nunukan

Kabupaten Nunukan adalah salah satu kabupaten di provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di kota Nunukan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 14.493 km² dan berpenduduk sebanyak 109.527 jiwa (2004). Motto Kabupaten Nunukan adalah "Penekindidebaya" yang artinya "Membangun Daerah" yang berasal dari bahasa suku Tidung. Nunukan juga adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia.

Pada tahun 2003 terjadi tragedi kemanusiaan besar-besaran di Nunukan ketika para pekerja gelap asal Indonesia yang bekerja di Malaysia dideportasi kembali ke Indonesia lewat Nunukan.

Pelabuhan Nunukan merupakan pelabuhan lintas dengan kota Tawau, Malaysia. Bagi penduduk kota Nunukan yang hendak pergi ke Tawau diperlkan dokumen PLB (Pas Lintas Batas). Setiap hari rata-rata sekitar 8 unit kapal cepat dengan kapasitas kurang lebih 100 orang mondar-mandir antar Nunukan dengan Tawau Malaysia.

Di Kota Tawau sendiri banyak sekali orang Indonesia (baik WNI/ atau warga Malaysia) yang berasal dari Indonesia terutama dari suku bangsa Bugis Bone.

Sejarah terbentuknya kabupaten
Kabupaten Nunukan merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Bulungan, yang terbentuk berdasarkan pertimbangan luas wilyah, peningkatan pembangunan, dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pemekaran Kabupaten bulungan ini di pelopori oleh RA Besing yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Bulungan.

Pada tahun 1999, pemerintah pusat memberlakukan otonomi daerah dengan didasari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Nah, dgn dasar inilah dilakukan pemekaran pada Kabupaten Bulungan menjadi 2 kabupaten baru lainnya yaitu Kabupaten Nunukan dan kabupaten Malinau.

Pemekaran Kabupaten ini secara hukum diatur dalam UU Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat, dan Kota Bontang pada tanggal 4 Oktober 1999. Dan dengan dasar UU Nomor 47 tahun 1999 tersebut Nunukan Resmi menjadi Kabupaten dengan dibantu 5 wilayah administratif yakni Kecamatan Lumbis, Sembakung, Nunukan, Sebatik dan Krayan.

Pemekaran kabupaten
Pada tanggal 17 Juli 2007, dalam Sidang Paripurna DPR RI telah disetujui pembentukan kabupaten baru yaitu Kabupaten Tana Tidung, yang merupakan pemekaran dari wilayah Nunukan dan Bulungan. Dari Nunukan, kecamatan Sembakung dipindahkan menjadi wilayah kabupaten baru tersebut, sedangkan dari Bulungan, dipindahkan tiga kecamatan, yaitu Sesayap, Sesayap Hilir dan Tanah Lia.

Pejabat Kabupaten
Seiring dengan pembentukan ini dilakukan pulah pelantikan pejabat Bupati Nunukan yaitu Drs. Bustaman Arham, tepatnya pada tanggal 12 Oktober 1999 di Jakarta. Setelah pelantikan Bupati Nunukan, dilakukan persiapan penataan perangkat daerah dan pembentukan Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga disiapkan.

Tanggal 25 Desember 1999, dilantik 14 orang pejabat pada eselon II, III, IV untuk mengisi jabatan struktural. Tiga hari setelah pelantikan jabatan struktural tepatnya tanggal 28 Desember 1999 dilanjutkan dengan pelantikan 20 orang anggota Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Nunukan hasil Pemilihan Umum tahun 1999. Para Legislator tersebut berasal dari Partai Golkar, PDIP, PPP dan PAN.

Pemilihan Bupati
Meskipun masih dihadapkan berbagai hambatan infrastruktur dan suprastruktur, pemerintahan di Kabupaten Nunukan sudah mulai berjalan secara normal. Kesempatan ini dipergunakan oleh pemerintah daerah untuk melakukan pemilihan bupati definitif melalui sidang paripurnah DPRD. Tepatnya pada tanggal 11 April 2001.

Pada kesempatan tersebut muncul 3 pasangan calon, antara lain Pasangan Drs.H. Bustaman Arham – H. Ali Karim, Drs.H. Aseng Gusti Nuch – H. Arsyad Talib, SE serta H. Abdul Hafid Ahmad – Drs. Kasmir Foret, MM. Dari 3 pasangan yang maju tersebut, terpilihlah pasangan H. Abdul Hafid Ahmad – Drs. Kasmir Foret, MM sebagai bupati dan Wakil Bupati Nunukan Periode 2001 – 2006. Dan Pasangan ini di lantik pada tanggal 30 Mei 2001.

Sumber :  http://forum.detik.com/showthread.php?p=4739919

Senin, 06 Oktober 2008

Uji Coba

Ini Blog baru dibuat untuk membuat catatan tentang nunukan.  Semoga ada manfaatnya bagi semua.