Rabu, 19 November 2008

Asal Usul Nama Nunukan

NUNUKAN, PASAR JAMAKER. Saat sedang duduk di dermaga kayu Pelabuhan Pasar Jamaker dan menyaksikan bongkar muat kapal-kapal kayu yang menurunkan gula, minyak goreng, dan minuman kaleng dari Tawau, Malaysia, sudah tidak ada lagi Pohon Beringin di sekitar dermaga ini. Padahal Pohon Beringin inilah yang dulu menjadi penanda dermaga Pulau Nunukan. Pohon beringin ini konon sangat rindang, sehingga terlihat cukup jelas dari Selat Sebatik, meskipun dari jarak yang cukup jauh. Konon lagi, dari Pohon Beringin ini Nunukan dinamai.
Pohon beringin dalam Bahasa Tidung disebut Nunuk. Nunukan (atau dalam logat aslinya : Nunukon) artinya tempat Pohon Beringin. Disebut begitu karena Pohon Beringin ini sangat mudah dilihat dari laut, jika orang yang berlayar, sekedar mampir atau beristirahat di pulau ini. Nunukan berada pada posisi yang strategis, di persimpangan jalur, jika orang berperahu dari Tanjung Selor atau Tarakan ke Tawau dan sebaliknya.
Bahasa Tidung adalah bahasa yang dipakai oleh Suku Tidung, begitu mereka biasa disebut, yang sebenarnya adalah orang-orang Dayak pesisir. Orang Tidung berdiam di sepanjang pantai timur Kalimantan Timur dari Berau (Indonesia) di selatan sampai Kinabalu (Malaysia) di utara. Sebagai orang pesisir, orang Tidung umumnya adalah nelayan, dan nelayanlah yang biasanya memberi nama pulau-pulau sebagai identifikasi untuk membedakannya dengan pulau lainnya.
Posisi Dermaga Pasar Jamaker berada di ujung utara Pulau Nunukan. Dermaga ini menyatu dengan pasar yang berdiri di geladak kayu di atas pantai seluas hampir 5.000 meter persegi. Pasar ini adalah pasar terbesar di Pulau Nunukan dan merupakan jenis pasar tradisional. Dari baju, ikan dan bumbu dapur tersedia di sini. Nama Jamaker berasal dari PT Jamaker, sebuah perusahaan HPH yang dulu punya home base di sebelah pasar ini. Perusahaan ini kini sudah tak beroperasi lagi, tapi namanya melekat sebagai nama pasar ini sampai sekarang.

Mengapa Membangun Jalan Saja Susah

MEMBANGUN JALAN YANG TAK PERNAH SELESAI. Ada pemeo di Nunukan, Dinas Pekerjaan Umum Nunukan adalah dinas pembuka jalan, tapi tak pernah bisa mengaspal. Di ujung-ujung wilayah Kabupaten Nunukan saat ini telah terhubung jaringan jalan. Jalan itu dikerjakan oleh DPU dengan semangat anti isolasi wilayah. Hanya sayangnya, setelah jalan dibuka dan dilapis agregat, tak diaspal-aspal sampai bertahun-tahun kemudian. Akibatnya jalanan itu menjadi rusak lagi karena gerusan air atau hancur oleh kendaraan bermuatan berat. Hebatnya, beberapa tahun kemudian jalan itu diagregat kembali dan tanpa diaspal. Di Pulau Sebatik, untuk menghubungkan wilayah barat dan timur pulau, dibangun jalan tembus dekat perbatasan Indonesia – Malaysia melewati Gunung Menangis. Pembangunan awal dimulai tahun 2004. Warga Sebatik sangat senang atas perhatian pemerintah itu. Hebatnya, sampai sekarang jalan itu belum selesai. Jembatannya pun sebagian masih menggunakan kayu gelondongan. Kegembiraan warga Sebatik pun lama kelamaan menjadi kesedihan, apalagi jika lewat di Gunung Menangis. Juga, pada tahun 2003 di Pulau Nunukan dibangun jalan tembus dari Nunukan Kota ke Sedadap. Tujuannya memudahkan akses warga dari kota ke Sedadap, tempat Kantor Bupati Nunukan dan kota baru berada, tetapi sampai saat ini jalan tersebut juga belum selesai. Sekarang, jalan itu bahkan dipotong ketinggiannya dengan alasan kenyamanan pengguna jalan, padahal jalan tersebut sudah diagregat. Kenapa bukan dulu waktu pertama kali dibangun? Bukankah ini merupakan kesalahan perencanaan yang memboroskan anggaran? Belum lagi jalan menuju Rumah Sakit Umum Nunukan di Sungai Fatimah sepanjang 7 km, akses jalan ini bukan main buruknya, terutama di km 3 - 5. Orang waras yang lewat jalan itu bisa jatuh sakit, apalagi orang sakit, bisa-bisa jatuh pingsan. Ah, DPU Bina Marga!

Jika Pejabat Pusat ke Nunukan

PEJABAT PUSAT KE TAWAU. Ada selingan bagi pejabat pemerintah pusat yang datang ke Nunukan. Rekreasi ke luar negeri! Ini tampaknya menjadi semacam daya tarik Nunukan bagi beberapa pejabat pemerintah pusat yang kebetulan berurusan dengan daerah ini. Begitu selesai urusan dinasnya, menyeberang ke Tawau. Dengan biaya Rp 175.000,- naik boat berpenumpang 60 orang, hanya butuh waktu 45 menit, sudah sampai ke luar negeri. Dengan mengurus KTP sementara untuk mendapatkan PLB (Pas Lintas Batas : surat semacam paspor berwarna merah untuk melintas antar negara bagi penduduk perbatasan sampai 5 km dari pelabuhan negara jiran), mereka melenggang ke luar negeri. Kayak apa sih Tawau? Sebenarnya Tawau adalah kota kecil saja, tapi inilah hebatnya Malaysia. Kota ini terletak di perbatasan, dengan fasilitas kota besar yang cukup lengkap, tata kotanya cukup modern, benar-benar menjadi halaman depan Malaysia di hadapan Indonesia. Dibandingkan Nunukan, Tawau 10 kali lipat lebih maju dan modern. Lucunya, kota ini sebenarnya dibesarkan dan dihidupkan oleh orang Indonesia, baik perdagangannya maupun pelancongannya. Tidak sulit mencari orang Indonesia di kota ini. Perbincangan menggunakan Bahasa Indonesia, Bugis, Tidung, bahkan Jawa, hal biasa di Tawau. Lagu-lagu yang diputar di pusat-pusat perbelanjaannya lebih banyak lagu-lagu Indonesia dibandingkan lagu Malaysia. Seandainya ada larangan perdagangan dan kunjungan lintas batas dari Indonesia ke Tawau, bisa jadi Tawau langsung sepi seperti kota mati, karena kehilangan pasar. Bukan hanya itu, orang lokal Tawau pun sebenarnya asalnya adalah dari Indonesia. Wali kota Tawau adalah orang Bugis. Polisi dan tentaranya banyak yang orang tuanya asal Indonesia, mungkin dulunya TKI yang kemudian mendapatkan IC (Identity Card : KTP) Malaysia dan jadilah mereka warga Malaysia. Jadi kalau bicara perbatasan, jangan ribut kalau ada Relawan Penjaga Perbatasan Malaysia adalah dulunya orang Indonesia. Itu bukan WNI, mereka WNM keturunan Indonesia.

Nunukan dan TKI

TKI. Nunukan adalah gerbang TKI. Meminjam istilah sakral orang pusat di perbatasan “Perbatasan adalah Halaman Depan Negara Kesatuan Republik Indonesia” setiap kali terdengar pidatonya. Baik buruknya perbatasan adalah cermin baik buruknya ruang dalam NKRI. Di halaman depan ini pula TKI kita mengurus dokumen keimigrasiannya. Setiap pagi di luar pagar Bandara Nunukan, ada puluhan orang berjajar menonton pesawat terbang dan mendarat. Dapat dimaklumi, di tempat asalnya memang tidak ada lapangan terbang, jadi jarang sekali melihat pesawat terbang di daratan. TKI di Nunukan umumnya berasal dari NTB, NTT, Sulawesi dan Jawa. TKI bisa dijumpai di mana-mana di Kota Nunukan. Banyak penampungan TKI dan PJTKI di Nunukan. Ada juga BP2TKI (badan milik Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mengurus penempatan TKI di luar negeri), yang di pagar depan kantornya tertulis spanduk “Jangan Mejadi TKI Illegal” dan Kantor Imigrasi Nunukan, yang tiap hari tak pernah sepi TKI. Persoalan TKI ini pernah menjadi serius pada tahun 2002 – 2003, ketika TKI Indonesia dihalau (istilah resmi pemulangan TKA di Malaysia), karena masuk ke Malaysia secara illegal. Nunukan, yang waktu itu penduduknya baru 75.000-an orang, didatangi 300.000-an TKI. Jadilah kekacaubalauan penanganan dan tragedi yang memilukan. Jalan di sekitar Pelabuhan Sungai Bolong ditutup untuk didirikan tenda penampungan TKI, emper rumah dipakai untuk tidur mereka. Di Mambunut didirikan Pusat Penampungan TKI, meski akhirnya urung dipakai (karena begitu bangunan yang terbuat dari papan itu jadi, TKI-nya tinggal sedikit, akhirnya ketika Konflik Ambalat meletus, tempat ini dijadikan barak Marinir). Hal ini menunjukkan betapa seriusnya Nunukan sebagai gerbang TKI. Untung sekarang perpanjangan dokumen keimigrasian TKI tidak harus datang ke Nunukan, cukup dicap di Konjen Kinabalu atau Konsul Tawau, sehingga mudah-mudahan tragedi itu tak terjadi lagi. Tapi untuk TKI baru? Mudah-mudahan juga segera ada solusi ketatatenagakerjaan di Indonesia, sehingga TKI bukan makin bertambah karena kesejahteraan di Indonesia telah ditingkatkan.

Nama-nama Tempat di Nunukan

NUNUKAN, BUMBU-BUMBU KEUNIKAN. Banyak hal unik terjadi di Nunukan. Gabungan antara daerah perbatasan, beragamnya etnis yang mendiami, banyaknya pendatang, kurangnya infrastruktur, jauhnya dari pusat ekonomi Indonesia dan lainnya menjadikan Nunukan unik bagi pendatang atau orang baru. Dari yang sekedar bergumam heran, sampai yang benar-benar heran, bahkan mengkritik ke-“aneh”-an ini, ada baiknya direkam, untuk pengingat, seandainya ‘suatu hari nanti’ keadaan itu sudah tak ditemui lagi atau kalau pun keadaan itu tetap lestari, anggap saja sebagai catatan dibuang sayang

NAMA-NAMA TEMPAT. Di Nunukan banyak sekali tempat yang namanya dimulai dengan Sei, Si atau Sungai dan mana-nama orang. Contohnya : Sei Fatimah, Simenggaris, Simengkajang, Sungai Bilal, Sungai Sembilang, Tanjung Musa, Mansapa, dan sebagainya. Bagi orang Nunukan tentu tidak merasa aneh menyebut tempat dengan sungai, meskipun sungainya sebenarnya jauh dari tempat itu. Kalau orang Nunukan mau ke Sungai Bilal, maksudnya dia bukan mau ke sungai milik Pak Bilal, tetapi mungkin mau ke stadion, main sepak bola (di ‘Sungai’ Bilal ada stadion sepak bola bernama “Stadion Sungai Bilal”). Namun bagi pendatang (maksudnya orang luar Nunukan yang kebetulan berada di Nunukan) akan muncul keanehan, apalagi kalau dia diajak main sepak bola di Sungai Bilal oleh temannya yang tinggal di Nunukan, jangan-jangan dia membayangkan main polo air. Dari mana muncul nama-nama tempat ‘berawalan’ sei, tidak diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan, dulu orang bepergian selalu menggunakan moda transportasi air, perahu misalnya. Di tempat mendaratnya (atau tepatnya : merapatnya), kebetulan di dekat Rumah Ibu Fatimah, sehingga lama-kelamaan tempat itu dikenal sebagai Sei Fatimah. Maksudnya tentu bukan ada sungai milik Ibu Fatimah, tapi tempat (atau sungai) di dekat Rumah Ibu Fatimah. Demikian juga dengan Sungai Bilal, Tanjung Musa (bahkan saat ini Bapak Musa masih hidup), Mansapa (Paman Sapa’ sampai sekarang juga masih hidup), tetapi untuk Sungai Sembilang, mungkin di sekitar tempat itu banyak Ikan Sembilang-nya. Juga Simenggaris, di tempat itu memang banyak Kayu Menggaris-nya(kayu berbatang lurus dan tinggi yang biasanya menjadi sarang lebah). Jadi tak perlu takut kebasahan kalau diajak ke Sei Fatimah.

gai catatan dibuang sayang.

Ke Kecamatan Harus Naik Pesawat

KE KECAMATAN NAIK PESAWAT. Sudah tidak banyak di Indonesia daerah kecamatan yang saking sulitnya akses ke Ibu Kota Kabupaten, hanya bisa ditempuh dengan perjalanan udara, kecuali di Papua, tetapi di Nunukan hal itu masih ada. Sampai pernah, karena diberlakukannya penertiban keamanan penerbangan, dan maskapai penerbangannya terkena pembekuan, orang-orang Krayan dan Krayan Selatan, berbulan-bulan tidak bisa keluar dan masuk ke Ibu Kota Kabupaten. Tidak ada akses jalan darat dari Nunukan ke Krayan atau Krayan Selatan. Kedua kecamatan itu berada sekitar 300 km dari Nunukan, berada di pedalaman Pulau Kalimantan dan terletak pada 800 mdpl, sehingga wilayah tersebut dikenal sebagai Dataran Tinggi Krayan. Udaranya sejuk dan penduduknya ramah, tetapi terisolasi. Orang Krayan punya akses jalan tanah ke perbatasan Serawak (Malaysia Timur), semua kebutuhan sehari-hari, kecuali beras (Beras Krayan terkenal enak dan dijual sebagai Beras Bekalalan di Brunei. Konon nasi Beras Krayan ini disajikan untuk santapan Sultan Brunei) dipasok dari Serawak, tapi justru ke Nunukan, Ibu Kota Kabupatennya sendiri, di Indonesia, tak ada sama sekali akses jalan. Orang Krayan dan Krayan Selatan hanya bisa naik pesawat untuk ke Nunukan. Begitu juga pejabat Kabupaten Nunukan yang akan mengunjungi Krayan dan Krayan Selatan, hanya bisa naik pesawat selama 1 jam atau jalan kaki lewat jalan setapak naik turun gunung selama 5 hari. Nah, selamat berkeringat, kalau tak ada pesawat.

Beberapa Data Nunukan

NUNUKAN, BEBERAPA DATA. Tanggal 11 Oktober 2008, Kabupaten Nunukan merayakan hari jadinya ke 9. Luas Kabupaten Nunukan adalah 13.917,766 km2. Saat ini terbagi menjadi 9 kecamatan, 5 kecamatan asli dan 4 pemekaran, yaitu Kecamatan Nunukan, Kecamatan Sebatik, Kecamatan Sembakung, Kecamatan Lumbis, Kecamatan Krayan, Kecamatan Sebuku (2003), Kecamatan Krayan Selatan (2005), Kecamatan Sebatik Barat (2006) dan Kecamatan Nunukan Selatan (2008), serta 213 desa dan 5 kelurahan. Pada tahun 2007, penduduk Kabupaten Nunukan berjumlah 134.563 jiwa dengan kepadatan rata-rata 7,54 jiwa per km2 , rasio penduduk laki-laki / perempuan 112,9%. Pendapatan per kapita pada tahun 2007 berjumlah Rp 5.667.945,-. Mata pencaharian penduduk 58,91% di sektor pertanian dan 13,87% di sektor jasa. Bank yang beroperasi di Nunukan seluruhnya BUMN, yaitu : Bank BNI (Cabang), BRI (Cabang Pembantu), Mandiri (Cabang Pembantu, belum beroperasi, tahap membangun kantor) dan 1 BUMD (Bank Kaltim – dulu BPD Kaltim). Nunukan juga memiliki 2 perkebunan sawit besar yang telah memiliki pabrik CPO, yaitu : PT Nunukan Jaya Lestari (PMA) dan PT Komismar (PMDN), serta 1 perusahaan pengeboran minyak PT Medco Equatorial Sembakung.

Menelusuri Cerita Nunukan

NUNUKAN, MENELUSURI CERITA. Nunukan sebagai sebuah wilayah administrasi sebuah kabupaten berdiri sejak tahun 1999, tepatnya sejak UU Nomor 47 Tahun 1999 disahkan. Sebelumnya Nunukan hanyalah sebuah kota kecamatan yang berada dalam Kabupaten Bulungan. Semangat otonomi dan reformasi tahun 1998-lah yang melahirkan kabupaten ini.

Agak susah ditelusuri sejak kapan Nunukan didiami manusia, hanya diperkirakan Nunukan tumbuh bersama dengan kebesaran Kerajaan Bulungan. Dulu, Kerajaan Bulungan adalah kerajaan besar di wilayah timur laut Kalimantan. Wilayahnya membentang dari Berau sampai Kinabalu. Diperkirakan Nunukan adalah pulau transit, jika pembesar Kerajaan Bulungan ingin melakukan inspeksi ke Tawau, Semporna atau Kinabalu.

Pada zaman Belanda, kurang diketahui peranan Nunukan bagi rezim penjajah itu, tapi di Semengkajang, sebuah dusun di selatan pulau, didapati sumur minyak tua yang ditinggalkan dan tidak jadi dieksplorasi. Ini bukti Belanda pernah beroperasi di pulau ini.

Pasca kemerdekaan, Nunukan adalah sumber kayu yang besar bagi Republik. Masa keemasan kayu berlangsung dari tahun 60-an sampai 90-an. Akibatnya, saat ini Nunukan hanyalah pulau gundul yang mengenaskan. Bahkan mempertahankan hutan lindung saja, susahnya setengah mati. Meskipun demikian pada masa Konfrontasi dengan Malaysia, Nunukan adalah tempat yang strategis, karena berada di perbatasan. Keinginan Bung Karno untuk menyatukan seluruh Pulau Kalimantan ke pangkuan Ibu Pertiwi Indonesia, menjadikan Nunukan menjadi medan utama konflik. Sisanya, saat ini masih berdiri Tugu Peringatan gugurnya para pahlawan dari Unit KKO Angkatan Laut yang terlibat pertempuran di sini. Tugu ini terletak di halaman Puskesmas Nunukan Kota, di sebelah Alun-alun Kota Nunukan.

Dulu, Nunukan juga dikenal sebagai tempat yang tidak ramah dan kurang aman. Para perompak, perampok, preman dan penyelundup menjadikan Nunukan sebagai pangkalan yang strategis. Bahkan polisi sampai harus mendirikan Polsek yang cukup besar untuk menangani Nunukan. Di sekitar Alun-alun, pada tahun 90-an, mudah sekali ditemui orang mabuk dan berkelahi. Pagi harinya botol-botol minuman keras berserakan di jalanan sekitar Alun-alun itu. Ironisnya, Alun-alun letaknya di depan Kantor Polisi.

Sekarang suasana seram seperti itu tinggal cerita. Sejak meningkat statusnya menjadi kabupaten, Nunukan terus membenahi diri. Jika pada tahun 1999 hampir semua bangunan di sekitar pusat kota masih dibuat dari kayu, tahun 2008 ini bangunan kayu sudah terkikis. Di samping karena sulitnya mencari kayu akhir-akhir ini (banyak razia illegal logging, sampai-sampai untuk membuat liang lahat pun, masyarakat ada yang harus mencopot lantai rumahnya!), mudahnya transportasi dan alasan modernisasi, bangunan bata dan beton, bahkan yang menjulang tinggi, menjamur di Kota Nunukan.